Pertama, khatib ingin mengajak jamaah untuk meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT. dengan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Kedua, khatib ingin mengajak jamaah sekalian untuk memahami dan merenungi sepotong ayat yang berbunyi :

Alyauma akmaltu lakum diinakum wa atmamtu’alaikum ni’matii wa radliitu lakumu’l-islaama dinaa(S. Al-Maidah: 3)

yang artinya : Pada hari ini (kata Allah) Saya sempurnakan agamamu, Saya juga sempurnakan nikmatKu kepadamu dan Saya ridha Islam menjadi agamamu.

Kita meyakini bahwa ayat ini merupakan salah satu indikator tentang kesempurnaan Islam yang kita imani. Namun kita juga perlu memahami kesempurnaan bagaimana yang dimaksudkan dalam ayat tersebut diatas. Secara umum, kesempurnaan yang dimaksudkan ayat ini adalah kesempurnaan ayat-ayat al-Qur’an yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., dan diteruskan kepada kita hingga penerusnya di akhir jaman.

Tentu kita juga menyadari banyak hal-hal baru semenjak meninggalnya Rasulullah Muhammad SAW. hingga hari ini. Allah telah menurunkan firman-Nya terkait dengan segala hal yang patut diketahui oleh umat Islam. Mulai dari hal yang sifatnya prinsipil hingga yang sifatnya sangat teknis.

Namun itu tidak berarti bahwa Islam tidak tanggap terhadap perubahan. Justru sebenarnya, jika kita memahami hukum Islam, seperti fiqih, kita akan menemukan sifat elastisitasnya. Kita akan melihat bagaimana fiqih itu mampu beradaptasi ke dalam perubahan, yang sering kita sebut sebagai sunnatullah, sesuatu yang pasti terjadi dan akan kita alami.

Dalam fiqih ada yang sifatnya tetap dan ada pula yang sifatnya berubah-ubah sesuai dengan keadaan yang kita alami. Contohnya, ketika Rasulullah SAW. bersabda

المسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

Bahwa yang disebut sebagai muslim itu adalah orang yang selamat dari orang muslim lainnya dari lisan dan tangannya. Dengan radaksi lain, muslim adalah yang bisa menjaga tangan dan mulutnya agar muslim lainnya terjaga keselamatannya.

Ketika nabi bersabda tentang hadis ini, kita tidak menyangka bahwa salah satu yang dimaksud disini adalah jari-jari kita. Dulu hadis ini hanya dipahami untuk manjaga lisan dan tangan kita agar tidak melukai orang lain. Saat ini kita tertantang dengan hadis ini untuk menjaga jari-jari kita dari alat-alat yang bisa menyampaikan pesan ke seluruh dunia.

Dulu ulama tidak mungkin terpikir untuk menyandingkan hal ini dengan gadget yang skarang kita miliki. Maka saat ini sebagai muslim yang baik, kita harus menjaga lidah dan jari-jari ini agar tidak melukai orang lain. Baik dengan menyebarkan berita-berita palsu atau HOAX yang bisa melukai pihak lain. Kita harus bertanggung jawab atas apa yang kita sampaikan. Saat kita menerima berita, kita juga dituntut untuk mengkonfirmasi berita yang kita terima tersebut. Dan jika memang terkonfirmasi benar adanya, kita juga tetap dituntu berpikir, apakah kabar ini bermanfaat bagi yang lain jika kita bagi. Jika tidak ada manfaatnya, meski itu benar sekalipun, tak perlu kita share. Terlebih jika kita tidak sempat mengkonfirmasi sebuah berita.

Bahwasanya dalam Islam itu, mencapai tujuan yang mulia itu tidak boleh menggunakan medium atau cara yang tidak benar. Dalam hal ini, menyebar kebohongan, menyebar kebencian bukanlah jalan yang kita tempuh untuk tujuan yang mulia. Untuk mencapai tujuan mulia harus menggunakan cara yang mulia pula.

Kita sebagai umat Islam meyakini bahwa peradaban kita ini sebagai peradaban teks, karena kita selalu harus mengacu kepada al-Qur’an dan hadis, dan bagaimana kita memahaminya. Dari sini kita memahami ada hal-hal yang sifatnya tetap dan ada pula yang berubah. Ambil contoh, kita di Indonesia bisa mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk beras. Padahal berasa tidak ada hadis dan dalilnya sama sekali. Bahwasanya kita memahami bahwa yang dikeluarkan untuk zakat fitrah adalah makanan pokok, dan di Asia Tenggara kita mengenal nasi atau beras sebagai makanan pokoknya. Tidak berarti bahwa karena beras tidak disebutkan dalam al-Qur’an maka kita akan mengatakan haram jika mengeluarkannya sebagai zakat fitrah. Itu dilakukan melalui metodologi qiyas dalam studi Islam, dan sedikit pemahaman al-Qur’an dan hadis.

Ini adalah contoh kecil bagaimana kita dapat memahami perubahan-perubahan tanpa harus melanggar aturan-aturan agama. Semakin banyak kita belajar, semakin banyak kita mengetahui Islam dengan segala metodologinya, sampai di suatu titik kita akan memahami bahwa agama Islam itu sangat dinamis. Banyak kaidah-kaidah yang menjadi rumusan ulama akan kondisi yang kita temui saat ini.


Disampaikan saat menjadi khatib Jumat di Bellagio Mall Kuningan pada 30 Desember 2016 oleh Faried F. Saenong PhD.