Hadirin, al-Qur’an meminta kaum muslimin untuk memiliki kepribadian seperti ;
Pertama, memiliki KEYAKINAN, IMAN atau AKIDAH yang kokoh. Kuat dan mendalam. Jika keyakinan itu diibaratkan dengan tali, maka al-Qur’an meminta tali itu tidak putus hingga sampai saatnya menghadap Allah, yakni kematian.

Yang kedua, seorang muslim menyadari sebagai hamba Allah, yang diwujudkan dengan ISTIQOMAH dalam beribadah. Yang paling pokok dan harian adalah SALAT 5 waktu. Itu harus dirawat, dijaga. Al-Qur’an meminta untuk jaga, perhatikan salat kalian.

Yang ketiga, kaum muslimin memiliki watak yang mulia. Ketiganya terpadu, yakni AKIDAH yang kokoh, ibadah yang istiqomah, dan akhlak yang mulia. Ada akhlak kepada Allah, ada akhlak kepada sesama manusia, ada akhlak kepada lingkungan termasuk flora dan fauna.

Pada khutbah kali akan kita coba renungkan akhlak kepada sesama manusia. Pertama, SELURUH MANUSIA dipandang al-Qur’an sebagai saudara. Karena sama-sama dari garis keturunan Adam AS. Ini yang melahirkan persaudaraan atas kemanusiaan. Surat al-Isra’:70 menyebut

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي

Kami telah memuliakan anak Adam, seluruh umat manusia, dimuliakan oleh Allah atas dasar kemanusiaannya.

Karena itu kita juga bisa menghormati manusia dari kapasitas kemanusiaanya. Ini yang melahirkan persaudaraan universal. Yang kedua, bersaudara karena persamaan tempat tinggal, bersepakat menetap di satu tempat, mendirikan sebuah negara. Ini adalah persaudaraan kebangsaan. Dan yang ketiga, ini yang paling kokoh, paling kuat adalah persaudaraan iman. Ketiganya kita jalani sebaik-baiknya.

Ketika kita memandang keragaman, al-Qur’an membimbing dengan beberapa panduan. Yang pertama, mari kita renungkan surat al-Hujurat:13

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian ada laki-laki dan perempuan. Dan kami telah menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan berkelompok-kelompok.

Ini berarti al-Qur’an meminta kita memiliki kesadaran sosial, realitas sosial, realitas budaya beragam. Keragaman itu sebuah KENISCAYAAN. Apa yang diminta oleh al-Qur’an ketika kita berhadapan dengan keragaman ini : satu sama lain saling mengenal. Lahirlah pengetahuan budaya, lahirlah ilmu-ilmu sosial, dan pada intinya untuk membimbing kita untuk MENGENAL SATU SAMA LAIN.

Tapi dibalik itu semua, ada satu kerangka nilai yang besar : masing-masing mulia, punya kehormatan sesuai dengan kemanusiaan, rasionalitas, namun ada yang paling tinggi yakni yang paling BERTAKWA.

Oleh karenanya, jika nilai iman, nilai amal, nilai ilmu, maka tingkat kesolehan jauh lebih tinggi. Lebih baik kita berlomba-lomba untuk mengokohkan iman, melahirkan karya-karya dengan dasar ilmu, dan menggapai kesolehan jauh lebih tinggi. Kesolehan itu terdiri dari 3. Yaitu ketaatan kepada Allah, damai, lalu melahirkan perbaikan-perbaikan.

Jadi seorang yang paling tinggi dihadapan Allah adalah seorang yang beriman, lalu taat kapada Allah, menciptakan perdamaian, dan bertanggung jawab dengan memperbaiki lingkungan dan kehidupannya.

Oleh karena itu, kita tidak bisa memaksakan kehendak. Kita tidak bisa memaksa semua orang beriman. Ini melawan realitas. Semua orang diminta sependapat dengan kita, tidak mungkin.

Karena itu, ada ayat lain yang perlu kita renungkan bersama yakni surat As-Syura:8

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَهُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ يُدْخِلُ مَنْ يَشَاءُ فِي رَحْمَتِهِ ۚ وَالظَّالِمُونَ مَا لَهُمْ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ

Mudah saja bagi Allah untuk menciptakan umat yang satu”. Namun bukan ini yang Allah kehedaki. Tapi Allah memberikan pilihan, bahkan pilihan yang sangat mendasar. Pada surat al-Kahf:29 “Yang mau beriman silahkan, yang mau kufur silahkan.”

Jadi iman dan kufur dalam al-Qur’an diberikan pilihan kebebasan. Namun ada konsekuensi, memilih iman berarti memilih jalan yang Allah ridhai. Memilih kufur berarti memilih tempat yang Allah murka. Karenanya al-Qur’an datang untuk memberikan pencerahan, penjelasan agar manusia memilih dengan benar, yakni memilih beriman.

Setelah beriman tentu harus menafikan kenyataan dii luar kita yang tidak beriman dan berbeda agama/keyaninan. Itu adalah realitas sosial yang merupakan keniscayaan. Oleh karenanya, khutbah ini diberi judul KEINDAHAN PERSATUAN DALAM KEBERAGAMAN.

Jadi kita berkompetisi saja, berkompetisi untuk melahirkan perbaikan-perbaikan, kedamaian, dengan landasan iman yang kita miliki. Lainnya, mereka menjalankan apa yang mereka percaya dan yakini. Namun kita harus memahami, kita bersaudara sesama manusia, sebagai bangsa. Kita punya iman, mari keimanan kita buktikan dengan karya, dengan tanggung-jawab untuk melahirkan kebaikan, mewujudkan sesuatu yang melahirkan kedamaian.

Di ujung khutbah, saya mengutip surat an-Najm:53

“Dialah Allah yang tahu, siapa yang paling bertakwa.”

Maksudnya, lebih baik perhatian kita ke dalam, lebih baik kita menguatkan iman, lebih baik memunculkan karya-karya terbaik kita, lebih baik bahu membahu menciptakan kedamaian. Lebih baik meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan. Namun jangan menilai aku paling suci. Karena yang menilai hanya Allah SWT. Dengan itu kita akan damai, dengan itu kita tidak merasa paling hebat, tidak punya penyakit arogansi. Sebaliknya, kita akan rendah hati, tawaddu, kita merasa sedang berjuang menjadi pribadi yang lebih baik. Lebih baik kita sama-sama berpegang pada ayat dan sunah, lalu menjadikan hidup ini adalah kesempatan untuk melakukan hal yang baik (fastabiqul khairat) dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.


Disampaikan oleh Prof. Asep Usman Ismail, MA saat menjadi khatib di Bellagi Mall Kuningan Jakarta pada 17 Februari 2017.