Bapak-bapak, saudara-saudara jamaah Jumat yang dimuliakan Allah,
Kembali kita berkesempatan untuk bersyukur dan memuji Allah SWT. yang telah menganugerahkan nikmat iman, nikmat Islam dan nikmat kesehatan. Selain itu, kita panjatkan pula salam dan shalawat kepada Rasulullah Muhammad saw. yang telah dapat amanah untuk menyampaikan dakwah islamnya kepada umatnya.

Bapak-bapak, saudara-saudara jamaah Jumat yang dimuliakan Allah,
Saat ini kita berada pada bulan Agustus, yaitu bulan yang sangat bermakna bagi kehidupan bangsa Indonesia. Karena pada bulan inilah, 70 tahun yang lalu kemerdekaan telah dikumandangkan dan dimulailah Indonesia sebagai negara yang berdaulat, menjadi awal kiprahnya di pentas internasional.

Kemerdekaan suatu bangsa memang merupakan satu hal yang mutlak dimiliki oleh suatu bangsa. Hal ini antara lain karena kecintaan seseorang pada tanah air merupakan suatu keniscayaan dan harus selalu dipupuk, dipelihara sehingga dia akan bangga dengan negaranya.

Dalam sejarah islam, Rasulullah saw. pun pernah merasakan hal yang demikian. Dengan berat hati beliau harus hijrah, dari Mekah ke Madinah. Hal ini dilalui tentu saja bukan dengan rasa senang meninggalkan tanah airnya. Tetapi tetap dilakukan oleh sesuatu yang memaksa beliau untuk hijrah.

Sesaat beliau tiba di Madinah, dan beliau mesti melaksanakan salat, dan ketika itu muncul perintah Allah bahwa salat itu mesti menghadap Baitul Maqdis. Karena itu, saat beliau masih di Mekah, beliau selalu salat menghadap Baitul Maqdis, demikian pula pada saat di Madinah.

Namun demikian, terasa ada sesuatu yang mengganjal hati beliau. Karena bagaimanapun, Mekah adalah kota yang dicintainya, kota tempat kelahirannya dan kota yang menjadi tanah air. Kecintaannya tidak dapat digantikan dengan keberadaan beliau di Madinah. Terlebih lagi kecintaan Rasulullah saw. terhadap Masjidil Haram.

Masjidil Haram sebagaimana diungkapkan dalam salah satu surat dalam al-Qur’an merupakan rumah ibadah yang pertama kali dibangun. Allah swt. mengisyaratkan dalam salah satu ayatnya bahwa sesungguhnya bahwa rumah ibadah yang pertama kali dibangun untuk manusia adalah yang terletak di lembah Bakkah, yaitu letak dari kota Mekah saat itu.

Karena itu pada saat beliau di Mekah, mendapat perintah untuk salat menghadap Masjidil Aqsa -sebagai kiblat- beliau selalu salat di sebelah selatan Ka’bah. Dengan salat di sebelah selatan Kabah, berarti beliau menghadap Masjidil Haram sekaligus menghadap Masjidil Aqsa.

Ini karena kecintaan beliau terhadap Masjidil Haram yang ada di Mekah. Namun saat beliau hijrah ke Madinah, ketika salat harus menghadap Masjidil Aqsa, berati beliau membelakangi kota Mekah, sekaligus membelakangi Masjidil Haram. Beliau harus membelakangi kota yang dicintainya, tanah air kelahirannya.

Disitulah beliau merasa kurang sreg, sehingga setiap saat beliau menengadahkan wajahnya ke langit, berdoa mohon ijin kepada Allah swt. agar diijinkan untuk mengubah arah kiblat, dari Masjidil Aqsa ke Masjidil Haram. Hal ini diungkap dalam salah satu ayat di al-Baqarah karena beliau selalu memohon kepada Allah.

Pada akhirnya, permohonan beliau, permohonan seorang nabi dikabulkan. Allah swt. mengisahkan upaya beliau tadi dalam surat al-Baqarah, yaitu ‘Kami telah melihat, bagaimana engkau ya Muhammad saw. selalu menengadahkan wajahmu ke langit seraya bermohon agar diijinkan untuk mengubah kiblat. Maka Kami ijinkan kamu untuk mengubah arah kiblat, dari Masjidil Aqsa ke kiblat yang lebih engkau sukai, yaitu Masjidil Haram.‘(al-Baqarah/2:144)

Kalau dilihat dari kacamata fiqih, mungkin ini hanya merupakan perubahan kiblat yang ayatnya turun ketika beliau sedang salat. Sehingga begitu ayat ini turun, lantas beliau segera memutar arah kiblat dari Masjidil Aqsa ke Masjidil Haram. Dan masjid itu populer dengan sebutan Masjid Qiblatain, masjid yang memunyai dua arah kiblat.

Namun di sisi lain, peristiwa ini juga menunjukan betapa cintanya Rasul kepada tanah airnya. Sehingga sampai hal itu juga berpengaruh pada keinginan beliau untuk selalu menghadapkan wajahnya pada saat salat ke arah Masjidil Haram.

Potongan ayat berikutnya, perintah Allah “Maka hadapkanlah wajahmu pada saat salat ke Masjidil Haram.” Perintah ini pun disusul pula perintah pada seluruh umat Islam “…dan ke manapun umat Islam berada maka hadapkanlah wajahmu saat salat ke arah Masjidil Haram.

Dengan peristiwa ini, yang dapat diambil adalah bahwa Rasulullah saw. pun memiliki kecintaan yang mendalam terhadap negerinya. Dan mungkin ini juga lah yang harus kita perhatikan dan layak kita teladani yaitu perintah UNTUK MENCINTAI NEGERI KITA.

Bagaimanapun tanah air ini lah yang telah memberikan kehidupan kepada kita. Airnya kita minum setiap hari, udaranya kita hisap setiap saat, dan tanamannya kita konsumsi pada waktu yang kita inginkan.

Nikmat kemerdekaan ini tentu memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan manusia saat mereka berbangsa dan bernegara. Karena itu layaklah apabila kita mensyukuri nikmat ini, karena tanpa rasa bersyukur tadi maka niscaya tidak akan terasa betapa bahagianya orang yang hidup dalam negara yang merdeka.

Mungkin kita semua masih merasakan pengaruh tersebut masih mendalam dalam sanubari kita, karena diantara kita yang hadir mungkin ada satu dua, atau mungkin tidak ada yang mengalami penjajahan.

Kita dilahirkan dalam masa kemerdekaan, sehingga betapa beratnya masyarakat Indonesia hidup dalam masa penjajahan. Inilah kadang-kadang yang menyebabkan kurangnya rasa syukur kita terhadap kemerdekaan. Namun bila kita dengarkan kisah, cerita dari orang-orang terdahulu, dari kakek-kakek kita, maka akan terasa betapa bahagianya kita berada dalam alam kemerdekaan.

Rasa syukur tidak hanya terucap dengan ucapan. Imam al-Ghazali mengisyaratkan dalam salah satu bab yang ditulisnya, bahwa syukur itu mestilah diungkapkan dengan 4 tahapan.

Tahap pertama yang disebut as syukru bil lisan, syukur dengan cara ucapan. Minimal dengan ungkapan ‘Alhamdulilah’ atau terima kasih atas nikmat kemerdekaan.
Yang kedua disebut dengan as syukra bil arkan, syukur dengan perbuatan. Apa yang harus kita lakukan untuk mensyukuri nikmat kemerdekaan ini. Pastilah kita ingin berbuat sesuatu yang dari bangsa kita. Dari situ tentu amal perbuatan yang dapat menimbulkan hal-hal yang mengagumkan bagi orang lain yang mesti kita lakukan.
Kemudian yang ketiga, as syukru bil afkar, yaitu ucapan syukur dengan memberdayakan akal dan pikiran kita. Manusia merupakan mahluk yang istimewa yang dianugerahi akal yang dapat dimaanfaatkan untuk berfikir, menganalisis dan mempertimbangkan segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya atau hal-hal yang akan diperbuatnya.

Akal bisa merupakan hal yang bermanfaat tapi dapat pula diperdayakan untuk hal-hal yang justru merugikan. Karena itu kalau dalam ungkapan syukur tentulah akal mesti diberdayakan untuk kebaikan diri kita, masyarakat kita, negara kita dan agama kita. Bila itu yang dilakukan dengan inovasi-inovasi baru dimana menjadikan negara ini lebih berkembang, lebih baik, maka itu merupakan pengejawantahan dari rasa syukur dari pikiran kita.

Yang keempat atau yang terakhir adalah as syukru bil qolbi, bersyukur dengan hati. Menurut Imam al-Ghazali inilah syukur yang paling berat. Mungkin ada diantara kita yang menilai ungkapan syukur ini adalah ungkapan syukur dar hati, tetapi yang dimaksud adalah bagaimana menata hati kita agar bisa diarahkan untuk menuju ke arah kebaikan-kebaikan. Dalam hal ini diungkapkan ada tiga tahap untuk melaksanakan syukur bil qolbi.

Yang pertama disebut dengan takhali, mengosongkan hati dari semua keinginan-keinginan buruk, membersikan jiwa dari semua sifat-sifat tercela/tidak terpuji. Rasa iri, dengki, takabur dan lainnya mesti dibersihkan terlebih dahulu.
Dan tahap kedua yang disebut tahali, yakni mengisi hati dengan sifat-sifat kebaikan, dengan sifat-sifat yang dimiliki Allah swt. yang tercermin dalam asmaul husna. Dari situ kemudian, yang ketiga adalah tajali, mengaplikasikan semua sifat baik tadi dalam perbuatan.

Nah inilah ungkapan syukur yang dianjurkan Imam al-Ghazali dan apabila ini kita terapkan dalam rangka mencintai tanah air maka insyaallah yang ada adalah kebajikan-kebajikan dan semua yang bernuansa kemaksiatan akan dapat dikikis atau paling tidak diminimalisir.

Oleh karena itu ada baiknya kalau kita bertanya pada diri sendiri apa yang bisa saya berikan kepada tanah airku, sehingga tanah air kita ini semakin berkembang sesuai dengan cita-cita proklamator yang telah mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia.
Insya allah!


Disampaikan oleh Prof. Dr. Hamdani Lubis, MA di Bellagio Mall pada Jumat 7 Agustus 2015.