Ma’asyiral muslimin wa zumrotal mukminin rahimakumullah,
Alhamdulillah Allah swt., melimpahkan kepada kita nikmat lahir dan batin sehingga kita dapat melaksanakan kewajiban kita kepada Allah swt., semoga nikmat ini langgeng sebagai tambahan ketaatan kita kepada-Nya.

Ma’asyiral muslimin,
Ijinkan khotib untuk memulai khutbah Jumat ini dengan mengutip sebuah statement dari seorang ulama Mesir kontemporer Syekh Muhammad Abduh. Beliau pernah menyebutkan ‘Apa yang kulihat dari kaum muslimin yang mayoritas, tapi minus nilai-nilai Islam. Dan aku melihat nilai-nilai Islam, tapi minus kaum muslimin.’

Ma’asyiral muslimin,
Untuk lebih dapat menghayati apa yang disampaikan beliau, ijinkah khotib untuk membawakan sebuah contoh yang pernah dilakukan Prof. Dr. Hossein Askari. Beliau adalah seorang peniliti bisnis dan politik tingkat internasional dari George Washington University.
Dari 200 negara, dia mencari negara mana yang patut disematkan sebagai negara paling Islami, negara yang paling menerapkan nilai-nilai Islam.

Hadirin rahimakumullah,
Sangat menyedihkan, dari 200 negara, 5 besar negara yang disebut sebagai negara yang paling menerapkan dan menerapkan nilai-nilai Islam adalah dari negara non-Muslim. Negara-negara yang di dalamnya sulit ditemukan kaum muslimin ; Finlandia, Irlandia, Denmark, Luksemburg, dan Selandia Baru.

Lalu dimana posisi negara-negara dengan mayoritas muslim? Malaysia menempati peringkat ke-33, Kuwait di peringkat ke-48, Arab Saudi di posisi ke-91 dan Qatar ke-111. Dan dimana Indonesia, sebagai negara mayoritas muslim di dunia, ternyata tidak sampai masuk ke peringkat 100 besar.

Hadirin rahimakumullah,
Untuk mempertegas dari pernyataan tadi, sebuah institusi kenamaan Lembaga Transparency International (TI) pada 2015 mengindeks 100 negara untuk mengetahui negara mana paling bersih dari korupsi. Ternyata dari 100 negara yang paling bersih dari korupsi, Indonesia masuk di peringkat 88.

Ini tanda, benarlah apa yang disampaikan oleh Syekh Muhammad Abduh bahwa dia melihat negara muslim tanpa Islam, atau negara Islam tanpa kaum muslimin. Dimana letak masalah ini? ternyata ada jarak antara formalitas dan esensi. Secara formal kita muslimin, tapi secara substansi kita tidak. Secara formalitas kita mukminin, tetapi secara substansi kita tidak. Boleh jadi secara substansi kita kufur, walaupun secara formalitas kita mukmin.

Oleh karena itu, hadirin sekalian rahimakumullah, kafir atau kufur dalam al-Qur’an tidak selalu dihadapkan dengan keimanan seseorang. Kalau kata-kata kafir dihadapkan dengan iman, harus diingat bahwa orang yang beriman adalah orang yang bersyahadat, menyebut dan mengakui Allah dan rasul-Nya, ini yang disebut sebagai beriman secara syariat.

Lalu orang yang kafir selain tidak bersyahadat adalah orang yang tidak beriman kepada Allah. Ketika kafir dihadapkan dengan syukur, maka makna kafirnya secara bahasa, bukan syariah.

Orang yang bersyukur kepada Allah swt., menjaga amanah yang Allah berikan kepada-Nya, merawat sebaik-baiknya , menggunakan dengan seksama nikmat yang Allah berikan, maka orang ini adalah orang yang bersyukur. Dan sebaliknya, mereka yang merusak bumi, semena-mena terhadap mahluknya Allah, maka dia kafir, secara bahasa.

Ada kesenjangan antara formalitas dan esensi. Dimana kita secara formalitas beriman namun secara substansi kita masih memiliki sifat-sifat kufur. Maka nilai-nilai Islami menjadi tak berwujud. Ada kesennjangan antara Islam dengan muslim.

Kebersihan adalah nilai Islam. Maka orang yang tidak membuang sampah pada tempatnya, tidak menjaga kondisi lingkungan dengan baik, malah turut merusak taman, maka ia bukan Islam secara substansi. Walaupun secara formal bisa saja dia muslim.

Oleh karena itu, Allah swt., mengabadikan kisah ini.Iblis adalah mahluk Allah swt. yang beriman. Bagaimana tidak iblis beriman kepada Allah swt., karena iblis pernah berkata kepada Allah swt.,’Ya Rabb, Kau ciptakan aku dari api dan Kau ciptakan Adam dari tanah‘, artinya ia mengakui bahwa Allah lah sang penciptanya. Ia beriman, namun pada saat yang sama ia kafir, karena tidak mau mengikuti perintah-Nya untuk bersujud kepada Adam.

Lalu apa yang harus kita lakukan agar esensi sama dengan formalitas? karena momentum kali ini adalah bulan Muharram, dimana beberapa hari yang lalu,sebagian dari saudara kita melaksanakan ibadah Haji. Maka ada istilah yang harus kita perhatikan.

Istilah mabrur adalah bertambahnya kebajikan-kebajikan paska ibadah yang kita lakukan. Maka selalu ada peningkatan dalam pelaksanaan ibadah. Maka akan menipislah kesenjangan antara formalitas dan esensi. Kita akan menjadi muslim yang juga menerapkan nilai-nilai Islam. Sehingga kita akan bisa menghindari nada sumbang bahwa negara yang mayoritas muslim tidak Islam.

Loyalitas, profesionalitas, etos kerja yang baik diiringi dengan keimanan kepada Allah swt., disertai kejujuran dalam bermasyarakat adalah ciri-ciri mukmin. Dan sebaliknya, mereka yang berkhianat, bohong dan berdusta adalah ciri-ciri kaum kafir.

Mudah-mudahan kita termasuk orang yang secara formal kita muslim dan secara substansi kita Islam. Secara formal kita beriman, tapi secara substansi sifat-sifat kita adalah sifat-sifat mukmin yang digambarkan dalam al-Qur’an.


Disarikan dari khutbah Jumat di Bellagio Mall Kuningan Jakarta pada 7 oktober 2016 oleh khatib Mukhrij Sidqy, MA.
mukhrij-sidqy